Proses Pembebasan Lahan di Bendungan Waduk Keureuto: Sebuah Pengabaian Terhadap Hak Masyarakat -->

Kategori Berita

Iklan Semua Halaman

Proses Pembebasan Lahan di Bendungan Waduk Keureuto: Sebuah Pengabaian Terhadap Hak Masyarakat

Redaksi
Kamis, 12 Desember 2024

 


Aceh Utara - Pembebasan lahan untuk pembangunan Bendungan Waduk Keureuto di Aceh Utara, Kecamatan Paya Bakong, Gampong Blang Pante, telah menjadi sebuah permasalahan yang tak kunjung tuntas. Meskipun proyek ini sudah berjalan hampir satu dekade, sekitar 400 hektar lahan milik masyarakat yang terdampak masih belum dibebaskan hingga Desember 2024. Ini bukan sekadar keterlambatan administratif, tetapi sebuah pengabaian nyata terhadap hak-hak rakyat yang seharusnya dihargai dan dilindungi.


Saiful Azmi AB, Ketua Koordinator Lapangan yang mewakili masyarakat pemilik lahan, dengan tegas menyatakan bahwa proses pembebasan lahan ini masih jauh dari selesai. "Sampai dengan hari ini, masih ada 400 hektar lahan yang belum dibebaskan," ungkapnya. Namun, meskipun proyek ini telah berjalan sejak 2014 dan mencapai 90 persen penyelesaian, masalah lahan yang belum dibebaskan seakan dianggap sebagai masalah sepele oleh pihak-pihak yang berwenang.


Lebih parahnya lagi, meskipun pembangunan bendungan ini sudah melibatkan dana negara yang besar—Rp1,7 triliun pada tahap pertama saja—dan melibatkan beberapa perusahaan besar, kejelasan tentang pembebasan lahan tetap buram. Bahkan pada tahap kedua, yang anggarannya lebih kecil, belum ada kejelasan mengenai transparansi penggunaan dana dan siapa yang benar-benar bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah ini.


Pada 10 Desember 2024, pihak Balai Wilayah Sungai (BWS) berencana menutup pintu bendungan, meskipun masyarakat yang memiliki lahan yang terendam belum menerima hak ganti rugi mereka. Ini jelas menunjukkan adanya ketidakadilan struktural dan pengabaian terhadap hak-hak dasar warga yang terkena dampak langsung dari proyek besar ini. Pada 9 Desember 2024, masyarakat bahkan terpaksa datang ke kantor BWS untuk mengajukan audiensi dan menuntut kejelasan atas nasib mereka.


Proyek ini seharusnya tidak hanya menjadi simbol keberhasilan pembangunan, tetapi juga contoh bagaimana pemerintah harus menghormati dan memperhatikan hak-hak rakyat. Ketidakjelasan dan penundaan dalam pembebasan lahan mencerminkan buruknya manajemen proyek dan kurangnya penghargaan terhadap masyarakat yang menjadi korban langsung dari ambisi pembangunan tersebut.


Pemerintah daerah dan pihak terkait tidak boleh berdiam diri. Mereka harus segera memberikan kejelasan dan menyelesaikan pembebasan lahan ini dengan transparansi dan integritas yang tinggi. Jika tidak, maka proyek ini akan terus menjadi bukti nyata bahwa pembangunan seringkali lebih mementingkan keberhasilan fisik dan finansial daripada keadilan sosial yang seharusnya menjadi fondasi utama dari setiap proyek pembangunan.[ags]